NILAI SEBUAH JANJI
Sebuah Cerpen Oleh Willy Septinar
pexels |
Dengan langkah pasti aku menuruni tangga pesawat Citylink Air yang menerbangkan diriku dari Hang Nadim, Batam ke Husein Sastra Negara, Bandung. Sesaat aku melirik jam yang melingkar ditangan kiriku. Waktu menujukkan jam 15:45 WIB.
Aku menuju ke ruang tunggu Bandara Husein Sastera Negara untuk mengambil barang. Tempat tersebut berhadapan dengan ruang tunggu.
Sambil melangkah ingatanku kembali kebeberapa tahun silam. Kala itu aku juga menginjakkan kaki ditempat yang sama. Aku tidak sendiri, ada ayah, ibu dan kedua adikku. Pada saat itu ayahku yang yang bekerja di sebuah perusahaan milik negara mendapat kesempatan melanjutkan pendidikanya ke salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung untuk program masternya. Ibuku yang seorang aparatur sipil negara ikut pindah mendampingi ayah dan setahun kemudian beliau juga mengikuti jejak ayahku melanjutkan kuliah beliau kestrata dua, kami semua diboyong ke kota ini.
Sebenarnya berpindah kesebuah kota bukanlah pertama kali bagi kami sekeluarga. Ketika ayahku bertugas disalah satu kota dipulau Sumatera tepatnya di kota Medan, kami juga ikut kesana. Adikku yang terkecil lahir dikota tersebut.
Bandara Husein Sastra Negara. Flickr |
Tetapi kali ini aku hanya sendiri berkunjung kekota yang dijuluki Kota Kembang. Semua orang orang yang kucintai tinggal disebuah wilayah kabupaten yang dikenal sebagai Kota Berazam di provinsi Kepulauan Riau.
Diruang tunggu, aku melihat om Budi, adik mamaku sedang menunggu. Dengan senyumnya yang khas, beliau menyambutku. , “Welcome to Bandung, my son”. Kami berangkulan setelah barang bawaanku kuambil. Tidak lama setelah saling menanyakan khabar kami menuju parkir. Lima belas menit kemudian kami sudah menyapa sore menjelang senja di Jalan Dr. Junjunan menuju ke Megawarna, Sukaraja.
Dibawah cahaya matari yang kian memerah tanda hari mulai senja, aku melihat dengan jelas rumah mungil yang terletak dipojok kiri jalan. Rumah indah yang asri tersebut dulunya ditumbuhi pohon pinus, tetapi pohon tersebut sepertinya sudah diganti dengan pohon lengkeng yang sering dipotong sehingga pucuknya kelihatan rindang.
Kakek dan nenekku menyambut kami. “Waduh tambah gagah kamu sekarang” Nenek memujiku. “Iya dong calon mahasiswa “. Kakek menambahkan. Aku tersenyum dan menyalami serta memeluk mereka satu persatu. Mereka masih kelihatan sehat meski usia sudah kian senja.
Kami saling bercerita menanyakan khabar, aku disunguhi hidangan makan sore karena waktu makan siang sudah lewat. Hidangan buntil ikan mas buatan nenek dan gepuk gorengnya yang dibeli direstoran Nyonya Ong di Jalan Setiabudi sudah tersedia dimeja makan.
Gepuk Ny. Ong. Flickr |
Selesai menyantap hidangan, kakek dan nenek menyuruh aku istirahat, tentunya aku membersihkan diri terlebih dahulu. Besok pagi aku sudah harus mendaftar ulang diperguruan tinggi tempat aku akan menuntut ilmu. Om Budi berjanji akan mengantarkan aku kesana.
Kakek dan nenekku adalah orangtua dari ibuku. Kakekku sudah puluhan tahun tinggal dikota Bandung. Beliau dari sejak duduk dibangku SMP sudah menetap disini. Nenekku berasal dari Jawa Barat, dan kakek sendiri berasal dari sebuah kecamatan kecil disalah satu kabupaten di Jawa Timur. Sementara ayahku berasal dari sebuah kecamatan diujung provinsi Riau berbatasan dengan provinsi Sumatera Utara. Kakek dan nenekku dari sebelah ayahku sudah meninggal dunia. Inilah diriku yang merupakan anak dari sebuah pernikahan yang melambangkan Bhineka Tunggal Ika.
Ketika istirahat aku tidak lupa menelpon ibu untuk mengabarkan bahwa aku sudah sampai ketempat tujuan. Diakhir pembicaraan kami, ibu mengingatkan diriku untuk melaksanakan kewajibanku sesuai agama yang kuanut dan menjaga kesehatan. Sudah tentu aku mengiyakan apa yang dikatakan ibuku tersebut.
Ayahku sudah kukabari ketika aku menginjakkan kaki di bandara Husein Sastera Negara sore tadi, karena ayah selalu ingin lebih dulu diberitahu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan anak-anaknya.
Aku beristirahat dikamar tamu yang bersebelahan dengan kamar kakek dan nenek. Kamar ini dulu ditempati tante Mira adik bungsu mama yang saat ini bertugas sebagai dokter gigi disalah satu rumah sakit di kota Tanjung Pinang. Aku seharusnya sudah duduk diperguruan tinggi dua tahun yang lalu, namun kecelakaan membuatku harus istirahat lebih dari satu tahun dan hal tersebut juga banyak membawa perubahan dalam hidupku.
Kakek dan Nenek. Image by belajatiraihanfahrizi on Pixabay |
Aku menamatkan SMPku disebuah sekolah menengah pertama negeri di kota Bandung, dan melanjutkan SMAku disalah satu sekolah menengah atas negeri tertua dikota tempat ayah dan ibuku bekerja.
SMA Negeri tempat aku menuntut ilmu merupakan sebuah sekolah menengah atas tertua dikotaku. Sekolah dengan jumlah siswa dan guru yang besar. Sekolah ini juga merupakan sekolah favorit dikotaku. Salah satu mengapa sekolah ini banyak diminati orang tua untuk menyekolahkan anaknya disini, karena ia terletak dipusat kota dan tentu saja mudah diakses dan dijangkau dengan transfortasi umum. Selain itu sekolahku adalah sekolah yang menerima siswa baru lewat seleksi nilai rapor SMP dan tes tertulis sehingga siswa yang diterima belajar disekolah ini adalah siswa-siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi. Saat aku bersekolah disini, kotaku memiliki beberapa SMA dan SMK Negeri serta SMA dan SMK swasta lainnya.
Disekolah baru aku termasuk siswa yang biasa-biasa saja awalnya. Prestasiku juga baik namun aku harus ekstra belajar untuk bisa menjadikan prestasi belajarku amat baik. Aku bisa memilih program studi IPA karena nilai-nilaiku memenuhi sarat yang ditentukan. Aku bercita-cita menjadi seorang dokter ahli saraf dan aku tahu untuk mewujudkan hal tersebut tidak mudah. Tetapi kedua orangtuaku selalu memotivasi diriku untuk sedini mungkin mempersiapkan diri guna meraih cita-citaku. Misalnya aku diikutkan dalam kelas bimbingan belajar dan aku juga didatangkan guru les kerumah untuk membimbingku dan adik-adikku belajar. Aku menyukai hal ini.
Stetoskop Dokter. Image by Parentingupstream on Pixabay |
Disekolahku aku juga memiliki seorang teman putri yang akrab denganku. Anaknya pintar, cantik dan baik. Rumah kami berdekatan, sehingga kami sering pergi dan pulang sekolah bersama-sama. Karina nama temanku , kami satu kelas sejak kelas X hingga kelas XII. Memiliki teman seperti Karina juga menjadi salah satu penyebab mengapa aku ingin berprestasi dan memiliki cita-cita yang tinggi.
Namun sejalan dengan waktu ketika aku duduk dikelas XI aku ternyata aku berubah. Entah dari mana datangnya perasaan tersebut. Kala itu aku merasa bosan dengan rutinitas yang kujalani. Aku lebih senang berteman atau bergabung dengan siswa-siswa dari sekolah lain. Pada hari Minggu atau hari libur lainnya aku lebih sering berkumpul dengan mereka. Kami berjanji untuk bertemu ketika waktu luang atau libur dan bahkan diam - diam di waktu sekolah.
Sejak kecil aku menyukai balap motor. Aku memiliki berbagai jenis mainan motor balap yang sering digunakan dalam perlombaan-perlombaan internasional. Setelah duduk dikelas XI, ayah membelikan aku sebuah motor balap bewarna hitam ketika aku berulangtahun yang ke 16 tahun dengan segala asosiarinya untuk kegiatan balap.
Aku tahu ayah membelikan aku motor balap sebagai salah satu wujud kasih sayangnya kepadaku sebagai anak tertua dan satu-satunya anak laki-laki dari tiga anak orang tuaku. Ayahku membelikan aku motor balap tersebut tentunya dengan tujuan agar aku bisa menyalurkan hobiku tanpa melupakan cita-citaku. Tapi itulah aku...........
Setelah memiliki motor balap, aku bersama teman-temanku yang sama hobinya membentuk group motor yang bernama “Black Horse Race”.
Balap Motor di Malam Hari. Flickr |
Kotaku memiliki sebuah areal yang sering digunakan untuk balap motor. Aku tidak begitu pasti apakah areal tersebut resmi atau tidak karena aku tidak pernah bertanya tentang hal itu. Setiap pembalap biasanya memiliki timnya masing-masing. Satu tim bisa terdiri dari lima, delapan atau sepuluh orang anggota, kemudian dalam satu tim tersebut bisa memiliki lebih dari dua anggota yang memiliki motor. Untuk anggota tim yang tidak memiliki motor balap tidak ikut bertanding tetapi memiliki tugas untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan pembalap dari timnya yang akan berlomba. Kami sering mengadakan lomba balap motor pada malam hari. Sebenarnya kami pernah beberapa kali hampir ditangkap polisi karena kegiatan balap motor kami dianggap mengganggu keamanan pengguna jalan, namun kami berhasil lolos.
Sepak terjangku dengan hobiku yang cukup berbahaya diluar ternyata membawa akibat kesekolah. Aku sering absen dan tentunya ibuku berulang kali harus berurusan dengan pihak sekolah. Guru mata pelajaran, wali kelas juga konselor sekolah sudah beberapa kali menanganiku. Sudah lebih dari satu kali surat perjanjian antara aku, orang tua, wali kelas bahkan dengan Kepala Sekolah sudah kubuat. Namun tidak ada perubahan yang cukup berarti pada diriku. Aku tetap dengan diriku. Aku sendiri tidak tahu mengapa rasa egoku melampaui logika. Apakah ini tanda masa–masa pencarian identitas diriku sedang terjadi?
Aku tahu ibu dan ayahku sering beradu argumentasi karena kelakuanku. Aku memang tidak pernah menjawab setiap kali ibu atau ayahku memarahiku. Aku lebih banyak diam tidak menjawab. Dalam lubuk hatiku yang terdalam aku tahu apa yang dikatakan mereka adalah benar. Namun aku enggan menurutinya. Rasa egoku tinggi dan aku merasa ingin melakukan apa yang kumau. Rasa gengsi memenuhi hatiku, aku tidak mau menerima saran mereka. Dalam menangani kelakuanku ibuku jauh lebih bijak dan sabar dibanding ayah. Seorang sahabat sebaik Karinapun tidak mampu mengembalikan diriku seperti semula.
Mengerjakan Ujian. Image by F1Digitals on Pixabay |
Ketika hasil ujian kenaikan kelas diperoleh, aku tetap naik kekelas XII meskipun nilaiku hanya cukup batas Kriteria Ketuntasan Minimal. Hal ini mungkin dikarenakan aku cukup jeli dalam membaca situasi, dimana menjelang ujian kenaikan kelas aku tidak absen dan rajin mengerjakan tugas. Disamping itu kuakui Karina banyak membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolahku pada saat aku berada pada titik nadir. Buktinya aku bisa naik kelas meskipun nilaiku pas-pasan. Bagaimanapun aku tetap ingin naik kelas, ada rasa malu yang kadang kala terlintas dalam pikiranku jika aku tinggal kelas.
Meskipun naik ke kelas XII ayahku kecewa sekali melihat hasil belajarku. Beliau memarahiku dengan menghubungkan prestasiku yang jelek sebagai akibat dari sikap dan hobiku yang melalaikan tugas utamaku yaitu belajar. Ibu menegurku dengan mengajakku bicara sambil memberi pandangan dan kemungkinan yang akan aku hadapi dengan nilaiku yang minim dan tidak memuaskan, jika aku ingin melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi.
Sama seperti orang tua lainnya, ayah dan ibuku ingin agar aku sukses dalam studi dan hidupku dimasa yang akan datang. Aku tahu masa depan yang baik memang harus dipersiapkan lewat pendidikan, tidak ada pilihan yang lain. Masa depan yang sukses harus dirintis sejak dini dan diraih lewat proses. Salah satu proses tersebut adalah dengan berprestasi di sekolah.
Ketika aku baru duduk dua bulan di kelas XII, aku dan grupku berencana mengadakan lomba balap motor lagi. Saat itu malam minggu, hujan yang turun pada sore tidak menghalangiku untuk ikut serta. Aku pamit kepada ibu, kebetulan ayahku sedang ke Jakarta karena urusan dinas. “Sebaiknya dirumah ajalah, udara seperti ini apa harus keluar juga” Ibuku mencoba membujukku”. “Sebentar aja ma ada perlu dan jam sepuluh aku sudah pulang” jawabku.”Sebaiknya pakai mobil ”,” Enggak usah ma, pakai motor lebih bagus”. Jawabku singkat. Setelah memakai jaket dan helm aku berangkat, “ Jam sepuluh pulang Fan, hati-hati dijalan,”Suara ibuku ditelan suara motorku yang melaju memecah malam.
Ditempat yang sudah dijanjikan, teman-temanku sudah berkumpul menungguku. Arena balap motor bertempat disebuah tanah lapang yang kami lengkapi dengan beberapa Jumping Point setinggi 1 meter dan lampu penerang arena. Lampu jalan ikut menerangi arena balap kami. Udara terasa agak dingin meskipun hujan sudah reda sedari tadi. Jalan raya disamping tanah lapang masih lenggang karena habis hujan.
Jam 21 perlumbaan balap kami dimulai. Aku menempati jalur ketiga. Untuk putaran pertama aku bersama 4 teman lainnya berhasil melintasi Jumping Point dengan mulus. Ada taruhan uang dalam perlumbaan ini. Masing-masing dari kami harus melintasi 5 putaran dan hadiah uang akan diberikan jika berhasil melewati setiap putaran dengan lancar. Teman-temanku meneriakkan nama kami. Dengan penuh konsentrasi kami melintasi jalur masing-masing.
Putaran ketiga berhasil kulewati dengan mulus, dan untuk putaran yang keempat nasib sial menimpaku. Dalam jalur lintasan, aku agak kepinggir dan roda depan motorku menyenggol bagian pinggir Jumping Point dan akibat aku tidak menguasai motorku dengan baik sementara mesin motorku dalam kecepatan tinggi. Sebagai akibatnya aku terlempar dari motorku. Semuanya terjadi begitu cepat aku merasa tubuhku melayang dan terlempar. Sesaat kemudian semuanya gelap gelap. Aku tidak ingat apa yang terjadi.
Kecelakaan Motor. Image by fsHH on Pixabay |
Aku tersadar 4 jam setelah kecelakaan tersebut. Aku merasa seluruh tubuhku sakit. Semua kelihatan samar ......namun sepi. Detak suara detik jarum jam terdengar. Ternyata aku berada diruang ICU disebuah rumah sakit. Setelah kesadaran pulih dokter memindahkan diriku ke ruang vip.
Dalam kecelakaan tersebut kaki kiriku patah, sementara tangan kiriku luka-luka dan memar. Ketika aku jatuh helmku tidak terlepas dari kepala dan ini menolongku. Semula kakiku yang patah tersebut akan dipasang pin namun orang tuaku menolak. Mereka mencoba pemulihan kakiku dengan pengobatan singse China.
Proses pemulihan diriku memakan waktu lama. Aku harus mengalami pemeriksaan seluruh tubuhku. Apalagi dengan kondisi kakiku yang patah, aku diopname dirumah sakit selama dua minggu, sementara untuk pengobatan kaki, aku harus berurusan dengan singse China. Dalam keadaan seperti itu aku baru menyadari betapa sehat itu benar-benar nikmat.
Dalam proses pengobatan ini, kejenuhan melanda diriku. Hari-hariku hanya diisi dengan pengobatan dan perawatan kaki, main game, main internet atau tidur. Aku tidak bisa sekolah karena kondisiku.
Aku baru mengetahui nasib teman-temanku yang lain setelah teman-temanku sekelas dan wali kelas menjengukku. Salah satu temanku meninggal dunia karena motornya slip dan ia sama sepertiku, motornya terjungkal dan ia terlempar lebih jauh. Ternyata Tuhan masih menyayangiku dengan belum memanggilku. Aku diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kursi Roda. Image by Engin_Akyurt on Pixabay |
Malam itu ternyata ibuku menelpon polisi setelah aku berangkat. Beliau mendapat informasi dari Karina. Dia memberitahu ibuku setelah aku berangkat. Dia mengetahui rencanaku karena tanpa sengaja dia menguping pembicaraanku dengan salah satu temanku. Mereka tiba dilokasi setelah aku jatuh dari motor. Sementara temanku meninggal dunia dalam perjalanan menuju kerumah sakit.
Hari berganti bulan ternyata kakiku belum sembuh juga. Pada awalnya aku sudah mencoba bersekolah dengan menggunakan tongkat, namun rasa sakit pada kaki dan kesulitan berjalan dengan tongkat membuat aku hampir frustasi. Akhirnya orangtuaku dan pihak sekolah memberi solusi yang tepat, aku harus istirahat hingga kakiku pulih. Aku juga diterapi agar kakiku bisa berfungsi dengan baik kembali.
Aku tahu ada penyesalan pada diri ayahku karena membelikan aku motor balap. Aku sendiri merasa amat terpukul dengan kecelakaan yang terjadi. Motor balapku akhirnya dijual ayah dengan persetujuanku.
Delapan bulan kemudian, teman-temanku mengikuti ujian akhir nasional. Aku hanya bisa membaca kegembiraan mereka ketika lulus lewat wa, email, facebook ataupun mendengar cerita mereka ketika menerima kunjungan mereka dirumahku, atau melalui cerita Karina.
Sungguh ada rasa senang dan juga haru setelah mendengar cerita mereka tentang acara perpisahan disekolah. Selain itu mereka juga bercerita tentang teman-teman yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi favorit dan diterima sebagai calon mahasiswa karena berprestasi. Namun ada juga diantara mereka yang harus belajar lagi guna memperebutkan kesempatan pada jurusan yang diminati diperguruan-perguruan tinggi negeri lainnya karena pilihan mereka ketika SNMPTN tidak berhasil. Ini artinya mereka akan segera meninggalkan kota kami untuk meraih cita-cita.
Universitas. Image by TeroVesalainen on Pixabay |
Sejalan dengan waktu satu persatu sahabatku hilang dari hadapanku. Sementara aku masih sibuk dengan kepulihan kakiku. Karina sahabatku yang terbaik diterima disebuah perguruan tinggi negeri di kota Medan sesuai dengan disiplin ilmu yang diinginkannya. Dia pamit kepada ibu dan ayahku juga diriku ketika akan berangkat. Ibunya yang mengantarkannya ke ibu kota provinsi Sumatera Utara tersebut.
Disaat-saat itu kejenuhan dan keputusasaan melanda diriku. Ibu dengan bijak memujukku untuk bersikap sabar serta mengevaluasi diri serta mendekatkan diri kepada Tuhan lewat ibadah sebagaimana ajaran agamaku.
Aku memang sudah lama tidak mengerjakan kewajibanku. Aku ingat ketika bersekolah di SMA, sering kali kepala sekolah, wali kelas, guru agama dan guru bimbingan konseling mengingatkan dan mengajak para siswa untuk mengerjakan sholat, terutama sholat zuhur berjamaah. Namun aku tidak peduli. Aku memang ke mushola, tapi itu hanya untuk tidur atau menghindari pelajaran tertentu yang tidak aku sukai.
“Sholat ya Fan. Duduk aja karena kalau berdiri kamukan masih kesulitan” Ibu berkata pada suatu saat. Kala itu ia memergoki aku sedang menangis. Kadang-kadang dalam kejenuhan itu, aku menangis. Aku menyesali apa yang telah terjadi. Sungguh hanya Tuhan yang tahu betapa aku menyesali ini semua. Kakiku patah, aku berhenti sekolah meskipun sementara, aktifitasku terbatas, teman-temanku pergi meninggalkanku karena meraih cita-cita mereka juga Karina teman terbaikku. Kadang-kadang aku rindu pada caranya menegurku kalau aku malas mengerjakan tugas dari guru seperti PR atau membuat laporan dari tugas kelompok kami misalnya.
“Dengan mengadu kepada Tuhan kegelisahan hati kamu akan berkurang. Inilah cara Tuhan memberi peringatan pada kamu”. Demikian Ibu berkata padaku. Aku tahu beliau merasakan apa yang ada dalam kalbuku.
“Apakah aku akan sembuh ma?” Aku bertanya. Ibu tersenyum, “InsyaAllah, asal kamu yakin dan terus berdoa untuk kesembuhanmu”. Itu yang ibuku selalu ucapkan.
Setahun setelah teman-temanku lulus, adikku yang kedua lulus SMA. Usianya satu tahun dibawahku. Ketika aku duduk dikelas dua adikku duduk dikelas satu. Adikku lulus dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri sama dengan Karina, hanya mereka beda disiplin ilmu.
Keberangkatan adikku membuat aku semakin sadar bahwa apa yang kurasakan saat itu adalah kesalahan ku sendiri.
Seorang Anak yang Solat. Image by chidioc on Pixabay |
“Fan, melamun ya?” Tanpa kusadari nenekku masuk. Aku tidak tahu berapa lama beliau sudah ada disitu memperhatikanku. Dengan gerak reflek aku langsung melihat arah suara. “Ingat keluarga dirumah?” lanjutnya. “Aku hanya belum bisa tidur”. Aku beralasan sambil duduk ditepi tempat tidur. Nenekku tersenyum. “kamu harus optimis menyongsong masa depan. Ingat,dalam hidup ini apapun yang kita peroleh adalah hasil dari apa yang kita kerjakan, karena itu kita harus bisa berpikir jernih dan mengevaluasi diri serta mengambil hikmah dari setiap musibah atau cobaan yang kita terima”. Nenek berhenti sejenak kemudian melanjutkan. “Penyesalan sering datang terlambat tetapi tidak mengapa, jadikan ini pelajaran yang amat berharga dalam hidupmu.” Beliau berhenti sebentar “Om Budi akan mengantarkanmu ke kampus besok pagi dan setelah itu kalau ada keperluan lagi, Ifan bisa minta antarkan beliau. Nenek berkata sembari menepuk bahuku. “Nenek keluar dulu ya” Beliau berkata sambil meninggalkan kamarku. Aku mengangguk.
Apapun yang kita peroleh adalah hasil dari apa yang kita kerjakan. Perkataan nenek membuat aku tertegun. Inilah makna dari apa yang kualami, hasil dari benih yg kutuai. Aku memang salah karena apa yang kulakukan memang sederhana kelihatannya. Melanggar ketertiban sekolah. Aku tidak mematuhi peraturan sekolah. Aku melanggar janji pelajar yang diikrarkan setiap Senin pagi. Aku mengingkari janjiku yang kubuat dihadapan orang tua, wali kelas, konselor sekolah dan kepala sekolah.
Janji harus ditepati dan setiap pelanggaran akan ada konsekwensinya. Lantas apakah kecelakaanku adalah wujud dari pelanggaranku terhadap janji-janjiku tersebut? Aku coba menghubungkan proses akibat kecelakaan dengan kecelakaan yang kualami. Jelas aku harus cuti sekolah selama satu tahun adalah akibat dari janji yang kuingkari.
Benar, kecelakaan ini adalah sebuah kenyataan. Aku mungkin tidak akan berubah jika ia tidak terjadi. Inilah cara Tuhan mengingatkan diriku. Aku melanggar janji-janji yang telah kubuat dan untunglah musibah ini membuat aku sadar akan kesalahanku. Aku merepotkan banyak orang terutama orangtuaku dan pihak sekolah.
Janji-janjiku hanya berupa pernyataan yang tertulis diatas selembar kertas dan ditempeli materai 6000. Janji adalah hutang itu yang tertera dalam kitab suci agamaku. Saat aku dipanggil, diingatkan, dinasehati dan kemudian menandatangani surat pernyataan tersebut dihadapan kepala sekolah, konselor sekolah , wali kelas dan orang tuaku, aku hanya berpikiran agar aku bisa cepat keluar dari ruang konselor atau ruang kepala sekolah.
Kala itu aku tidak pernah berpikir bahwa janji yang kusanggupi akan berakibat buruk kalau tidak kutepati. Toh aku sudah lebih dari satu kali melanggar janji nyatanya aku tetap baik-baik saja. Aku masih bisa melakukann apa yang kuinginkan.
Ah…., aku merasa enggan mengingat hal yang pernah terjadi. Aku ingin maju meraih apa yang kuimpikan. Keberadaan diriku di kota ini adalah wujud dari tekadku. Setahun terakhir aku masuk sekolah kembali dan mengulang kembali segala ketertinggalanku. Aku akhirnya diterima difakultas kedokteran Universitas Islam Bandung, aku memilih perguruan tinggi swasta karena negeri karena tidak lulus ketika mengikuti tes SBMPTN. Sekarang aku ingin menepati janjiku kepada diriku, orang-orang yang kusayangi dan orang-orang yang pernah menjadi saksi atas janji yang tidak kutepati saat itu.
mantap buk willy, sangat menginspirasi saya
ReplyDeleteWahh, amazing buk willy ..
ReplyDeleteBikin pembaca penasaran akhir cetinyaa kek gimana